Kamis, 29 November 2012

Tegas, Tak Harus Marah/Bersuara Keras

Bagian paling sulit dalam pengasuhan yang sering dikeluhkan ibu-ibu adalah tegas pada anak. Benar? Ya, saya kira memang benar. Orangtua, apalagi ibu, biasanya memang kurang konsisten dalam menerapkan aturan untuk anak. Alasannya macam-macam, tidak tega, kasihan, takut dibenci anak, dll. Itu wajar.

Namun, bila hal ini terus berlanjut, orangtua akan makin kesulitan menghadapi anak-anak yang mulai dewasa. Kunci dari pengasuhan adalah tegas dan kasih sayang. Tegas sering disalahartikan dengan marah/bersuara keras. Padahal ini sama sekali berbeda konsep. Tegas itu merupakan sikap, sesuatu yang diyakini dan secara konsisten dilakukan, serta berkaitan dengan konsekuensi. Mari kita lihat bedanya.

Aturan
Habis bermain, mainan harus dibereskan dan kamar bersih. Bila itu dilakukan, maka anak tidak boleh bermain komputer, misalnya.

Perilaku anak
Bermain dan meninggalkan kamar acak-acakan, mainan berserakan dan kotor.

Tegas
Katakan bahwa dia tidak membereskan kamarnya seusai bermain, dan sesuai kesepakatan dia tidak diijinkan main komputer dalam satu hari. (usahakan, hukuman berupa larangan akan sesuatu yang sangat disenangi anak). Konsistenlah pada konsekuensi yang telah disepakati. Tunjukkan kesalahannya dan tunjukkan konsekuensi yang harus dia terima. Semua dilakukan tanpa nada keras.

Marah
Mengomel pada anak dengan suara keras/berteriak, atau bahkan memukul atau mencubit anak sambil mengatakan bahwa dia nakal karena telah mengotori kamarnya. Namun, Anda tetap membantu membereskan kamarnya.

Marah dan tidak konsisten akan membuat Anda tidak dipercaya anak-anak dan ada kecenderungan mereka menyepelekan Anda. Namun, ketegasan membuat mereka belajar mengerti tentang kesalahan mereka dan apa yang harus mereka terima, serta belajar untuk berperilaku yang lebih baik.

Bersikap tegas itu sulit. Anda harus berlatih mulai dari hal-hal kecil. Utamakan bersikap tegas pada diri Anda sendiri, baru pada anak. Semoga membantu.


Anak Autis Itu Rigid

Ada beberapa hal unik yang bisa kita jumpai pada anak autis. Salah satunya rigid/kaku. Mereka menyukai aktivitas sama yang berulang-ulang dan akan mengalami kecemasan saat aktivitas/kebiasaan berubah. Berkaitan dengan hal ini, saya punya dua cerita untuk Anda.

Pertama, cerita dari Nisa, murid saya. Nisa, seorang anak perempuan berusia 7 tahun, penyandang autis, dan sudah sekolah kelas 1 SD. Dua hari yang lalu saya mengubah jadwal terapi lantaran saya hendak bepergian. Terapi biasanya dimulai jam 4 sore (sepulang sekolah) dan selesai jam 5. Terapi Nisa hanya difokuskan pada aktivitas-aktivitas selfcare dan ketrampilan-ketrampilan sehari-hari agar Nisa tidak begitu tergantung pada orang lain.

Nah, karena saya harus pergi ke Merapi, jadwal terapi berubah dari jam 4 menjadi jam 3 sore. Hari itu, Nisa tidak ikut eskul, jam 3 dijemput orangtuanya dan terapi. Sampai di rumahnya, di halaman, saya dengar Nisa menangis. Saya buru-buru masuk dan langsung menuju kamarnya. Tangisnya makin parah ketika saya masuk. Dia berteriak, "Bu Prima pulang!!!". Wajahnya ditutupi guling. Saya mendekati dan menyentuh bahunya. Nisa makin kencang berteriak, "Bu Prima pulang saja!!"

Lalu saya singkirkan guling dari wajahnya dan saya peluk dia. Tangisnya sedikit redam, lalu saya minta dia duduk. "Nisa, tidak menangis! Hari ini kita terapi jam 3. Kemarin kan Bu Prima sudah bilang kalau hari ini kita terapi jam 3, selesai jam 4," kata saya tegas (tidak marah).

"Tidak terapi!" kata Nisa.
"Kita harus terapi!"
"Tidaaakk??"
"Oke. Sekarang Bu Prima mau menggambar saja!" Saya tinggalkan di tempat tidur lalu duduk untuk menggambar.

Beberapa detik kemudian Nisa sudah duduk di dekat saya dan berkata, "Yuk, bikin kodok yuk!"

Hahahaha, begitulah mereka dan saya tak heran dengan kejadian-kejadian macam itu. Terlalu sering terjadi dan saya sudah tahu bagaimana menghadapinya.

Kedua, ini cerita tentang Ivan, murid saya di Primakids Learning Center. Ivan usianya 6 tahun, homeschooling dengan ibunya (dengan pantauan saya). Saya paling suka dengan ibunya. Begitu tahu Ivan autis di usia tiga tahun, wanita ramah ini memutuskan keluar dari pekerjaannya dan full time mengasuh Ivan di rumah. Di usia 6 tahun, Ivan yang menyandang autis ini sudah sangat mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Dia bisa makan sendiri, mandi, cebok, tidur, berpakaian, dan beberapa aktivitas rumah yang lain.

Berbeda dengan Nisa yang bisa berkomunikasi secara verbal, Ivan belum mampu. Namun secara reseptif, Ivan paham dengan perintah.

Ivan punya banyak ritual wajib dan bila ritual ini berubah maka moodnya akan berubah menjadi buruk. Setiap pagi, Ivan akan mematikan semua lampu di rumahnya, kemudian membuka tirai dan jendela. Begitu pula bila sore datang, Ivan akan menutup jendela dan menghidupkan semua lampu di rumahnya. Bila tugas itu dikerjakan orang lain, maka ia akan menangis.

Di Primakids Learning Center, setiap terapi, dia akan turun dari motor, membuka gerbang, membiarkan ibunya memasukkan motor ke halaman, menutup gerbang, lalu memeluk saya di depan pintu. Begitu juga ketika ia pulang. Itu ritualnya. Awalnya saya tidak sadar, lalu entah kenapa saya ingin membuka pintu saat ia pulang. Spontan Ivan langsung menangis. Dan saya sadar, saya telah mengganggu ritualnya. Maka saya bergerak mundur, menutup pintu kembali dan membiarkan dia yang membuka. Hahaha..

Bagi beberapa orang terdekat seperti orangtua dan saudara, perilaku-perilaku macam ini kadang-kadang dimanfaatkan. Anak-anak autis begitu mudah ditebak dan tidak pernah berontak untuk urusan kekakuan ini. Namun, rutinitas yang kaku sebetulnya juga akan menghambat interaksi sosial. Orangtua Nisa misalnya, mereka lebih suka Nisa duduk berlama-lama di depan komputer atau menggambar ketimbang melakukan aktivitas permainan lain. Alasannya, untuk orangtua karir mungkin lebih mudah dalam pengasuhan. Berbeda dengan ayah Ivan yang yang selalu mengacak rutinitas, misal dengan menginterupsi ritual Ivan. Ia tak peduli seberapa frustasi anaknya ketika ritual itu berubah lantaran ingin anaknya mampu beradaptasi dalam bermacam kondisi.

Bagaimana mengatasi ini?

Anak-anak autis tampaknya memerlukan rutinitas dan konsistensi yang lebih tinggi dibanding anak-anak pada umumnya. Namun, kita bisa mengajarkan fleksibilitas pada mereka. Cara untuk mengajarkan fleksibilitas yaitu dengan menawarkan aktivitas lain yang lebih menyenangkan. Seperti yang saya lakukan pada Nisa, bahwa terapi pukul 3 atau pukul 4 tidak ada bedanya karena dia masih bisa mengerjakan hal-hal yang dia sukai sama seperti sebelumnya.

Perubahan akan selalu diawali dengan tantrum. Itu pasti. Namun, biasanya tantrum tidak berlangsung lama ketika dengan cekatan kita bisa mengalihkan perhatiannya. Hmmm, dan kesabaran tetap diperlukan di sini.

Yang jelas, jangan berusaha memaksa anak masuk dalam cara hidup yang berbeda seperti keinginan kita. Namun membantu anak memahami bahwa sebuah fleksibilitas itu bermanfaat dan menyenangkan. Jangan lupa pujian setelah anak berhasil beradaptasi.


Minggu, 18 November 2012

Kesehatan Reproduksi (Kespro) Sejak Dini

Dua minggu lalu saya diminta seorang teman lama untuk jadi pembicara dalam dasa wisma dengan tema edukasi seks. Ngomong-ngomong soal edukasi seks, saya sebetulnya kurang sepakat menggunakan istilah ini karena akan menimbulkan banyak kerancuan. Namun, mau bagaimana lagi, istilah 'edukasi seks' tampaknya sudah familiar di kalangan masyarakat dan memang benar, ketika mendengar istilah 'pendidikan seks' orangtua cenderung berpikir bahwa hal ini merupakan suatu pelajaran tentang seks.

Padahal bukan. Di Barat, istilah edukasi seks memang pada akhirnya gagal dalam menjalankan fungsinya dan  diasumsikan pada 'bagaimana cara melakukan seks yang aman'. Namun, akan menimbulkan masalah ketika itu dilakukan di Indonesia meski pada kenyataannya memang hal ini sudah salah kaprah.

Banyak fakta menunjukkan bahwa banyak kejahatan seks yang terjadi pada anak-anak. Dalam pertemuan malam itu, banyak orangtua yang berbagi cerita tentang masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi anak-anak antara lain; anak-anak yang mendapat info tentang seks dari orang lain, kejahatan seks yang dilakukan tetangga, remaja-remaja yang ingin tahu tentang seks, dan bagaimana sebaiknya menyampaikan masalah kesehatan reproduksi pada anak.

Jadi apa sih sebenarnya 'seks' itu?
Seks merupakan jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis.

Apa itu kesehatan reproduksi?
Kesehatan reproduksi merupakan suatu proses yang integratif dengan memadukan pengetahuan biologis, nilai moral, aspek psikologis, dan landasan agama. Jadi bisa dikatakan bahwa kesehatan reproduksi (kespro) merupakan antisipasi atau upaya agar anak bertanggungjawab pada kesehatan reproduksinya sejak dini.

Kenapa kespro penting?
Masalah kesehatan reproduksi ini menjadi penting agar anak-anak bertanggung jawab pada kesehatan reproduksinya serta mengantisipasi lingkungan sosial masyarakat yang menawarkan perihal seks hanya sebatas komoditi. Seperti kita tahu bahwa pesatnya teknologi berakibat pada banyaknya persediaan informasi tanpa saringan usia. Tak ada batasan untuk mengakses informasi melalui media televisi/internet. Anak-anak lebih mudah terkena imbasnya dan orangtua sebaiknya memang tidak tinggal diam.

Kenapa diberikan sejak dini?
Untuk menekan laju angka penderita penyakit kelamin, tindakan aborsi pada remaja yang bisa mengakibatkan kematian, serta mencegah perilaku penyimpangan seksual.

Bagaimana penyampaian yang tepat?
Ada beberapa poin penting. Pertama, mengenalkan perbedaan lawan jenis. Bahwa ada laki-laki dan perempuan. Kedua, memperkenalkan organ seks seperti memperkenalkan organ-organ yang lain pada tubuh anak. Jangan sampai anak tidak mengenali organ seksnya karena hal ini dapat menimbulkan kebingungan ketika sesuatu terjadi pada organ seksnya. Pada banyak kasus, anak-anak yang jadi korban kejahatan seksual seringkali tidak bisa menceritakan apa yang dialaminya karena mereka tidak mengenal nama organ seksnya serta diancam pelaku. Ketiga, menghindarkan anak dari kemungkinan pelecehan dengan memberitahu bahwa tidak semua orang boleh menyentuh organ seksnya, anak boleh berteriak atau menolah ketika orang lain menyentuh organ seksnya. Sampaikan dengan bahasa yang khas untuk anak-anak, jangan terkesan menggurui dan marah. Serta sesuaikan dengan perkembangan usia.

Acara malam itu berlangsung seru dan interaktif. Bapak-bapak maupun ibu-ibu banyak yang bertanya pada saya. Kebanyakan mengeluhkan tayangan televisi yang menyajikan tayangan-tayangan sampah, juga ketidakmampuan orangtua mengontrol kegiatan anak-anak terutama yang terkait dengan gadget. Solusi dari saya sederhana; komunikasi yang berkualitas dengan anak-anak, luangkan waktu untuk anak-anak, dan jadilah sahabat mereka.
  1. Komunikasi yang berkualitas dengan anak-anak itu penting. Banyak orangtua yang melewatkan hal ini karena terlalu sibuk bekerja. Sebetulnya berkomunikasi dengan anak-anak itu mudah ketika kita sering melakukannya. Tanyakan apa saja yang dilakukan dia saat bermain di luar rumah. Tak lantas bertanya seperti menghakimi. Pertanyaan bisa diawali dengan duduk bersama di teras sambil mengunyah cemilan. Orangtua boleh menceritakan aktivitasnya di kantor lebih dulu, misal "Oh ya, tadi papa rapat sampai sore, capek sekali. Kamu tadi main sama siapa? Ngapain aja?"
  2. Luangkan waktu untuk anak-anak untuk mengantisipasi anak berkegiatan sendiri tanpa pengawasan misal terlalu banyak bermain hape atau menonton televisi sendiri. Anak-anak usia 1-5 tahun merupakan masa di mana perkembangan motorik anak sedang berlangsung pesat. Ada baiknya anak-anak bermain fisik seperti berkejar-kejaran, bersepeda, atau permainan-permainan yang melibatkan alam dan interaksi sosial. Mengawasi anak-anak bermain di sore hari akan lebih baik daripada membiarkan anak-anak menonton televisi/bermain hp dalam rumah.
  3. Jadilah sahabat bagi anak-anak agar mereka tak segan bercerita dan berbagi apa saja dengan Anda. Hal ini memudahkan orangtua memantau anak-anak dan menanamkan nilai-nilai moral yang baik pada mereka.
Oke, kira-kira itu yang bisa saya bagi. Semoga bermanfaat.








Kamis, 08 November 2012

Sekolah, Apakah Hanya Seonggok Bangunan?



Selain persoalan ijazah, apa yang membuat Anda masih berniat menyekolahkan buah hati? Sedangkan Anda tahu bahwa kurikulum untuk anak-anak mulai tidak bersahabat belakangan ini. Saya mendapat banyak alternatif jawaban dari pertanyaan di atas; mulai masalah gengsi, masalah sosialisasi, sampai ketidakyakinan orangtua mampu memberikan pendidikan yang layak pada anak tanpa menyekolahkannya di sekolah formal. 

Berkaitan dengan kurikulum di Indonesia, sekolah memberikan tuntutan akademis yang besar pada siswanya. Ironisnya, besarnya tuntutan akademis yang diterima anak tak hanya berlangsung saat di sekolah. Di rumah, rupanya anak-anak juga dituntut untuk lebih giat belajar agar tidak ketinggalan dengan teman yang lain. Orangtua berupaya agar segala kebutuhan anak terpenuhi sebagai kompensasi dari besarnya tuntutan akademis di sekolah. Bila perlu anak-anak harus mengambil les di semua mata pelajaran. 

Hal ini rupanya menjangkiti hampir semua tingkat pendidikan termasuk TK/PAUD. Untuk anak-anak yang lebih muda (usia PAUD/TK) beberapa orangtua bahkan mencari guru khusus untuk melatih buah hati mereka agar menguasai kemampuan calistung (baca, tulis, hitung) lantaran kemampuan tersebut menjadi syarat untuk masuk SD . Bisa Anda bayangkan betapa stresnya anak-anak menghadapi tuntutan ini? Sekolah bukan lagi tempat yang dirindukan anak-anak, melainkan menjadi lokasi yang begitu menakutkan di mata anak-anak.

Di samping itu, persoalan biaya mulai dikeluhkan orangtua. Sudah jadi rahasia umum, banyak PAUD/TK yang mematok biaya mahal, baik itu biaya masuk atau bulanan sebagai dalih atas program-program yang ditawarkan. Padahal program-program yang ditawarkan tersebut belum tentu sesuai untuk anak. Sebagai kompensasi dari biaya yang telah dikeluarkan, orangtua menuntut buah hatinya untuk lebih cerdas dari anak-anak seusianya. Lebih parah lagi, tanpa disadari orangtua menjadikan anak sebagai aset/investasi. Sekolah agaknya turut mempertajam kesenjangan sosial di masyarakat.

Baik PAUD/TK esensinya merupakan tempat kedua bagi anak (setelah lingkungan rumah) untuk melakukan adaptasi mengenai banyak hal sebelum menginjak ke jenjang sekolah dasar. Normalnya, PAUD/TK tidak mengajarkan hal-hal yang sulit kepada anak karena di sinilah anak mulai mengembangkan rasa percaya pada lingkungan baru. Kegiatan belajar umumnya difokuskan pada latihan-latihan kemandirian, interaksi sosial, komunikasi, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan. Materi belajar disajikan dalam bentuk permainan dan bukan worksheet di mana anak harus berhadapan dengan lembar kerja/latihan soal.

Pada usia ini (2-7 tahun) anak-anak berada pada tahap pra-operasinal (menurut Jean Piaget) di mana mereka sedang belajar mengenal lingkungan melalui simbol-simbol bahasa, imitasi, dan permainan. Itulah mengapa sebaiknya materi-materi di PAUD/TK disajikan dalam pola-pola bermain untuk merangsang perkembangan kognitif anak. Anak-anak pada tahap ini segala perbuatan rasionalnya belum didasari pada pemikiran, namun masih menggunakan perasaan. Mereka mulai mengerti hubungan sebab akibat meski logika hubungannya belum tepat. Jadi wajar bila di usia ini anak-anak mengeksplorasi banyak hal, ditandai dengan tidak bisa diam atau selalu ingin tahu. Secara motorik, organ-organ mereka sudah mulai matang sehingga perlu dirangsang dengan kegiatan-kegiatan yang menunjang.

Guru atau orangtua diharapkan tidak terlalu berorientasi pada hasil, namun pada proses di mana kegagalan/keberhasilan anak bukanlah efek dari tuntutan. Tahap ini merupakan tahapan penting perkembangan manusia terutama dalam pembentukan karakter. Banyak yang bilang jadi guru PAUD/TK itu mudah karena hanya mengajari anak kecil. Pandangan ini tentu saja sangat keliru. Justru profesi guru PAUD/TK merupakan profesi yang paling sulit. Itulah kenapa ada pepatah, "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa". Segala penanaman yang keliru sejak dini akan berimbas pada masa selanjutnya. Pembentukan karakter anak di sekolah akan menjadi kunci kuat/rapuhnya suatu bangsa.

Sangat memprihatinkan ketika banyak guru PAUD/TK tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sama. Di kota-kota kecil, ibu rumah tangga bisa mendirikan PAUD/TK hanya karena tenaga guru PAUD/TK sangat kurang. Bisa dibayangkan bagaimana praktek yang terjadi tanpa pengetahuan yang cukup.

Seiring perkembangan jaman dan teknologi yang semakin pesat, pemerintah seharusnya tidak menganggap remeh hal ini. Banyak orang tua yang merasa tidak puas dengan pelayanan dunia pendidikan. Sekolah dianggap sebagai alternatif yang gagal dalam mengembangkan anak-anak. Guru-guru hanya sekedar menjalankan tugas dan mengejar sertifikasi tanpa jiwa pengabdian. Tak sedikit musibah yang terjadi di sekolah; tindak kekerasan, tawuran, aborsi, perkosaan, depresi dan masih banyak lagi. Masihkah sekolah menjalankan fungsinya sebagai tempat bersosialisasi? Saya kira tidak.

Banyak orangtua yang akhirnya memilih sekolah rumah (atau sering kita sebut homeschool) untuk buah hatinya. Mereka tak percaya lagi dengan lembaga sekolah yang dipandang tidak mampu mengembangkan keunikan anak. Homeschooling dipandang sebagai solusi. Pendidikan kini tak layak dilabeli mahal ketika pengetahuan banyak disajikan di internet yang merambah ke semua lapisan kehidupan. Hampir segala informasi bisa kita peroleh secara cuma-cuma dan pandangan orang-orang tentang dunia menjadi terbuka. Bila lembaga sekolah masih 'adem ayem' saja mengatasi kondisi ini, beberapa  tahun ke depan, bisa jadi sekolah hanyalah seonggok bangunan yang tak lagi punya kenangan. 

Semoga ini menjadi renungan kita bersama untuk perbaikan kualitas pendidikan Indonesia terutama masalah perbaikan sumber daya guru PAUD/TK.









*Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog Gerakan Indonesia Berkibar

Rabu, 24 Oktober 2012

Larangan Dalam Mengajar

Oleh: Steven David Horwich
Seorang penulis dan pendidik dari Amerika
(diterjemahkan oleh Catastrova Prima)

Homeschooling merupakan tantangan besar bagi orangtua dan anak-anaknya yang menjadi pelaku homeschooling. Coba bayangkan bila orangtua harus menjadi seorang guru ahli. Oleh karena hal itu, Anda sebagai orangtua pun ingin menjadi guru yang baik.

Berikut adalah beberapa larangan yang harus diperhatikan saat Anda memulai petualangan mengajar:
  1. Jangan membatasi anak. Dengarkan, dan ketika anak mengekspresikan minatnya pada suatu hal, sebisa mungkin berikan banyak masukan tentang materi yang sedang mereka minati. Anda bisa memberinya beberapa contoh dan meminta anak memilih satu atau dua materi yang mereka sukai. Mungkin akan membuang waktu dan materi. Namun ketertarikan mereka terhadap suatu hal, barangkali akan berguna untuk kehidupan mereka, mungkin juga memberi mereka kebahagiaan dan rasa aman tersendiri. Inilah salah satu keuntungan homeschooling, kita bisa memberikan materi pelajaran secara fleksibel yang dapat disesuaikan dengan minat anak. Anak akan belajar lebih giat untuk sesuatu yang mereka minati daripada yang tidak.
  2. Jangan menyepelekan. Semakin besar tanggung jawab yang diberikan pada anak, mereka akan lebih giat belajar. Kita sering kali banyak berharap dari anak-anak, namun kita jarang memberi mereka wewenang untuk bertanggung jawab. Anda mungkin tidak suka ketika Anda diminta melakukan sesuatu tetapi tidak diberikan kebebasan untuk melakukannya dengan cara Anda sendiri. Begitu juga dengan anak Anda. Sebuah tahapan, di mana kita memberikan otoritas penuh kepada anak atas pendidikan mereka, memberdayakan dan mempersiapkan mereka untuk kehidupan mendatang. Dengan begitu kita membuat mereka bertanggung jawab penuh atas diri mereka sendiri untuk menjadi "dewasa". Begitulah yang seharusnya Anda lakukan.
  3. Jangan mengedit atau mengkritik usaha kreatif anak Anda. Kreativitas adalah hal yang sangat pribadi. Sebuah karya kreatif merupakan bagian dari diri seseorang yang menciptakannya, yang dibagikan pada dunia. Oleh karena itu, sebuah kreativitas yang rapuh bisa mempengaruhi suatu kualitas. Ketidaksetujuan pada waktu yang salah dapat menghambat kreativitas. Membantu memperbaiki ejaan dalam latihan penulisan kreatif, "membantu" dengan memberikan ide-ide, plot, melodi, atau memberitahu anak bahwa ide-ide mereka sendiri tidak cukup, atau tak cukup baik dapat menumpulkan minat siswa. Berilah mereka kesempatan untuk bereksperimen, hampir semua orang bisa menjadi seorang seniman. Dalam seni, studi dan pengalaman (eksposur dan praktek) menghasilkan keahlian jauh lebih baik daripada memberikan kritik. Seorang seniman mampu membuat lebih banyak karya daripada mereka yang "dilatih" untuk meragukan wawasan dan kertampilan mereka sendiri.
Anjurannya, mendengarkan, menjawab pertanyaan, menyediakan sumber daya dan peluang, serta memberikan pujian akan karya mereka. Larangan dan anjuran ini akan menjadikan Anda sebagai guru yang sangat baik seumur hidup.

Steven David Horwich has been both a professional and award-winning writer and educator for over 40 years. To learn more about his ideas, and to take a look at the home studies he created for homeschool use, go to www.connectthethoughts.com



Minggu, 21 Oktober 2012

HOMESCHOOL BUKAN “PENDIDIKAN ALTERNATIF”



Oleh: Steven David Horwich
Seorang penulis dan pendidik dari Amerika
(diterjemahkan oleh Catastrova Prima)

Belakangan ini homeschooling dipandang sebagai pendekatan "pendidikan alternatif". Guru, persatuan guru, politisi, dan "gerombolan-gerombolannya" berusaha meyakinkan kita bahwa homeschooling itu tidak "normal", tidak "standar". Homeschooling dipandang sebagai pendidikan "pinggiran”. Dan, siapakah pelaku homeschooling? Mereka menganggap bahwa pelaku homeschooling sebagian besar adalah orang-orang yang fanatik terhadap agama, "anak-anak bermasalah" yang dianggap terlalu berbahaya serta anak-anak yang tergolong lambat di sekolah.

Mari kita singkirkan omong kosong itu!

Secara historis, sekolah merupakan sebuah "alternatif". Hingga abad ke-20 sekolah hanya berkembang di beberapa tempat. Di sekolah, umumnya, tingkat pengetahuan siswa sangat rendah. Guru-guru dipandang sebagai gudang pengetahuan, sayang sekali sekolah justru tidak memberikan perhatian yang cukup tinggi pada guru-guru. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa guru dan persatuan guru bersikeras memperjuangkan kenaikan gaji, lantaran guru sudah terlalu banyak bekerja dan gajinya rendah, dan semua itu sama sekali omong kosong. Mereka sebetulnya tahu bahwa mereka tidak lagi diperlukan. Sejarah tidak berbohong.

Mari kita lihat daftar orang-orang yang TIDAK mengenyam sekolah berbasis pendidikan, namun sangat berkesan bagi dunia. Yang berada di bidang musik? Bach dan Mozart, keduanya belajar di rumah dan berhasil dengan baik. Seorang penulis lagu? Bagaimana dengan Irving Berlin, penulis lagu besar pertama dari abad ke-20? Seni rupa? Da Vinci dan Monet belajar di rumah. Sebagian besar dari para pendiri Amerika Serikat adalah produk homeschooling, termasuk George Washington, Benjamin Franklin, John Adams, James Madison, dan Thomas Jefferson. Sekelompok orang-orang hebat. Beberapa presiden lainnya juga belajar di rumah, seperti Abraham Lincoln, Teddy dan Franklin Delano Roosevelt. 

Apakah pendidikan Abraham Lincoln benar-benar "alternatif"? Saya pikir sebagian besar dari kita akan dengan senang hati melalui jalan alternatif itu. Apakah Anda berasal dari militer? Jenderal yang luar biasa seperti George C. Patton dan Robert E. Lee belajar di rumah. Bagaimana dengan penulis? Hans Christian Anderson, CS Lewis, Charles Dickens, George Bernard Shaw dan Mark Twain belajar di rumah. Apa yang akan dilakukan? Ada juga beberapa penyair, termasuk Carl Sandburg dan Walt Whitman, tergolong orang-orang yang paling penting bagi Amerika. Bagaimana dengan para ilmuwan? Mereka hampir tidak pernah mengenyam pendidikan formal sebelum masuk universitas, termasuk ilmuwan terbesar abad ke-20, Albert Einstein. Penemu? Brothers Wright belajar di rumah, berlari ke bengkel sepeda dan menciptakan pesawat. Alexander Graham Bell menemukan telepon. Coba bayangkan kita hidup tanpa para pelaku homeschooling itu! Thomas Edison belajar di rumah dan kemudian menemukan lampu listrik, audio dan merekam film, dan sebuah daftar penemuan yang menjadi sebuah kemungkinan di abad ke-20. Tentu saja, penemuan film Edison turut membantu memunculkan bintang film pertama, Charlie Chaplin, juga seorang pelaku homeschooling yang karyanya memberikan jaminan bahwa film akan menjadi sebuah bentuk seni pada abad ke-20.

Banyak bidang kehidupan yang digawangi pelaku homeschooling. Kedua perawat terbesar dalam sejarah, Florence Nightingale dan Clara Barton, belajar di rumah. Pengusaha besar seperti Joseph Pulitzer dan Andrew Carnegie belajar di rumah. Juara tenis hebat, Williams bersaudara, keduanya belajar di rumah. Bahkan artis populer seperti Justin Timberlake dan Christina Aguilera belajar di rumah.

Hal ini jelas BUKAN daftar "alternatif" tokoh sejarah, melainkan sebuah daftar dari tokoh-tokoh sentral dalam 300 tahun terakhir. Dan sejak sekolah umum menjadi sebuah kebudayaan selama kurun waktu 150 tahun atau lebih, sebagian besar tokoh-tokoh sejarah penting justru mengenyam sedikit atau bahkan tidak "sekolah".

Banyak yang sangat mendukung homeschooling. Mereka yang dididik di rumah, biasanya lebih banyak pengetahuan daripada mereka yang disekolahkan dengan seribu satu alasan. Entah bagaimana, peradaban akhirnya terselamatkan! Ada beberapa hal menarik lain, seperti "tes standar" yang menunjukkan bahwa pelaku homeschooling menerima pendidikan jauh lebih baik daripada rata-rata anak-anak yang disekolahkan.

Dan tentu saja, anak-anak yang dididik di rumah akan jarang sakit, tidak dipukuli oleh teman sekelas, dan seperti yang kita lihat di Colorado pekan ini, mereka tidak terkena semprotan airmata di sekolah ketika mereka "bertingkah". (Anda dapat mengetahui lebih lanjut tentang lelucon tragis di Homeschool Under Siege, di blog kami yang lain.)

Homeschool bukanlah alternatif. Sekolah dibuat se-universal mungkin di Amerika pada tahun 1860-an, dan kemudian tidak disambut dengan baik. Para petani berbondong-bondong membawa anaknya ke sekolah dan merelakan tanahnya untuk kepentingan anak-anak mereka. Tetapi kemudian malah, sebagian besar orang Amerika, belum lagi seluruh dunia, mendidik anak-anak mereka di rumah. Mengingat konsekuensi yang mengerikan dari sekolah, seperti yang terlihat dalam memburuknya peradaban, saya pikir kita semua harus mempertimbangkan bahwa "sekolah" merupakan sebuah alternatif yang gagal.

Di bidang pendidikan, homeschooling selalu menjadi jalan utama. Bisakah orang mengklaim bahwa orang-orang yang menakjubkan dan brilian yang tercantum di atas tidak berpendidikan? Oh, saya yakin para guru dan persatuan guru senang jika Anda tidak tahu tentang kebenaran ini, tapi di sini.. HOMESCHOOLING DENGAN MUDAH MEMBERIKAN PENDIDIKAN YANG JAUH LEBIH BAIK BAGI ANAK DARIPADA TERPENJARA DI SEKOLAH.

Ada banyak alasan untuk hal ini. (Jika Anda benar-benar ingin tahu tentang hal ini, dan mempelajarinya, silakan mempertimbangkan buku saya, Poor Cheated Little Johnny. Tersedia di situs kami, www.connectthethoughts.com.) Terakhir, hal terbaik apa yang dapat Anda lakukan untuk anak Anda? Homeschool.

Steven David Horwich has been both a professional and award-winning writer and educator for over 40 years.  To learn more about his ideas, and to take a look at the home studies he created for homeschool use, go to www.connectthethoughts.com


Jumat, 12 Oktober 2012

Pengenalan Warna Dasar


Pengenalan warna pada anak akan lebih efektif bila diberikan satu per satu. Biasanya warna-warna utama diberikan lebih dahulu, seperti merah, kuning, hijau. Anda bisa menggunakan balok warna yang aman untuk anak-anak, bisa dibeli di toko mainan edukasi. Bila Anda ingin yang lebih murah, balok warna bisa dibuat sendiri dengan menggunakan kertas asturo dan kertas karton.

Bahan:
  • Kertas asturo
  • Kertas karton/kardus bekas.
Alat:
  • Penggaris
  • Pensil
  • Penghapus
  • Gunting
  • Lem
Cara membuat:
  • Buatlah bujur sangkar berukuran 7 x 7 cm pada kertas asturo maupun kertas karton. Gunting.
  • Kemudian tempelkan kedua kertas yang sudah digunting tadi agar balok kertas warna lebih tebal.
Cara bermain:
  1. Kenalkan satu warna (misal: merah) pada anak. Katakan, "Ini merah!" sambil menunjuk balok warna. 
  2. Lakukan beberapa hari berturut-turut.
  3. Kemudian letakkan balok di depan anak seraya Anda meminta, "Ibu minta balok merah!". Tuntun tangannya agar memberikan balok merah tersebut pada Anda bila anak tidak merespon.
  4. Lakukan berturut-turut.
  5. Bila Anda merasa anak sudah mulai paham, aplikasikan dengan permainan lain seperti mengelompokkan warna (misal: merah). Materi mengelompokkan akan dibahas selanjutnya.
Ingat, berikan warna satu per satu. Bila anak sudah benar-benar mengenal warna merah, kenalkan kuning, hijau, dan warna lain. Selamat mencoba


Selasa, 09 Oktober 2012

Belajar Membuat Kalimat


Agar pelajaran Bahasa Indonesia tidak membosankan bagi anak-anak, yuk mari kita aplikasikan dalam permainan. 

Materi yang dibutuhkan:
  • Buatlah gambar-gambar aktivitas sehari-hari (bisa diunduh di internet, cetak, kemudian tempelkan pada kertas karton). Buatlah kira-kira 10 aktivitas manusia (makan, mencuci, membaca, menulis, minum, tidur, dll)
  • Siapkan worksheet (dapat diunduh di sini), pensil, dan penghapus.
Cara bermain:
  • Masukkan kartu-kartu aktivitas ke dalam toples. Minta anak untuk mengaduk kemudian memilih kartu.
  • Minta anak menyerahkan kartu pada Anda. Kemudian tulis kata kunci pada kotak yang tertera di worksheet. Kata kunci boleh apa saja (subyek, predikat, obyek, keterangannya). Misal pada kartu terdapat gambar orang sedang membaca majalah, Anda bisa menulis kata kunci: majalah, membaca, di teras, dsb.
  • Setelah Anda menulis kata kunci, minta anak membuat kalimat sesuai dengan apa yang ia lihat pada kartu. Kalimat ditulis pada kotak sebelah bawah.
  • Tidak harus jawaban yang sempurna yang penting kalimat yang dibuat anak membuat kita paham.
  • Beri tanda bintang bila anak berhasil membuat kalimat dengan baik.
  • Bila anak berhasil mengumpulkan sejumlah bintang, maka dia berhak mendapat hadiah; jalan-jalan keliling kompleks atau bermain sepeda.
Selamat bermain ;)


Senin, 08 Oktober 2012

Yuk Main Domino Bersama Anak!



Siapa yang tidak tahu kartu domino? Eits, jangan salah! Mainan mungil ini bisa bermanfaat juga lho untuk belajak buah hati Anda. Cara memainkannya pun mudah. Untuk anak-anak yang sedang belajar penjumlahan 1-12, permainan ini bisa jadi alternatif pilihan untuk belajar agar si kecil tidak bosan.

Caranya:
  1. Beli kartu domino. Bisa domino biasa yang terdiri dari bulatan atau domino bergambar. Untuk anak-anak sebaiknya sediakan domino bergambar.
  2. Bila ada, ajak anggota keluarga lain untuk bergabung biar acara bermain makin seru.
  3. Duduklah melingkar, baik di kursi, kasur, lantai, atau di mana pun asal longgar.
  4. Bagi kartu sampai habis pada pemain dalam keadaan tertutup, sisakan satu, kemudian letakkan di tengah dalam keadaan terbuka.
  5. Setiap pemain harus menjatuhkan kartu yang sama dengan ujung-ujung kartu yang ada di tengah. Dijatuhkan secara bergiliran mulai dari pemain 1, dst.
  6. Bila pemain tidak memiliki kartu untuk dijatuhkan, maka pemain harus menutup satu kartunya.
  7. Pemenang adalah pemain yang tidak memiliki sisa kartu.
  8. Bila ternyata semua pemain memiliki sisa kartu, kama pemenangnya adalah yang memiliki jumlah angka paling sedikit.
  9. Nah, minta anak menghitung jumlah angka yang tertera pada kartu sisa bila dia kalah.
Mudah kan? Cara ini, selain merangsang otak anak untuk berpikir juga melatih anak belajar interaksi dengan orang lain, belajar menunggu giliran, belajar tentang kompetisi, dan belajar untuk menerima kekalahan/kemenangan. 


Rabu, 03 Oktober 2012

Jangan Salahkan Mbekk!!!




Tadi siang, waktu beli nasi di warung, saya jumpai seorang gadis sedang makan bersama seorang anak kecil. Kira-kira usianya masih belasan tahun lantaran ia mengenakan seragam SMA. Sedangkan si anak kecil usianya kira-kira 2 tahunan. Saya kurang tahu apa hubungan mereka. Tapi, kalau tidak salah dengar, anak itu memanggil "ibu" pada si gadis. 

Sembari menunggu penjual meracik menu makan siang Dingo (nasi dan ati ampela), saya diam-diam mengamati. Si anak sepertinya sedang rewel, tidak mau disuapi, dan kakinya selalu ingin bergerak menuju jalan raya. Si gadis, tanpa beranjak dari duduknya, mencengkeram lengan si anak sampai anak hendak menangis. Anak itu berusaha melepaskan diri. Keduanya saling tarik menarik (tenang saja, nggak kayak di sinetron kok.. ^^).

"Heh sini! Ada mbekk lho.. Kamu nanti dimakan mbekk lhoo..!!" Si Gadis berujar. Si anak tak peduli dan terus berusaha keras melepaskan diri. Dan saya prihatin melihatnya.

Banyak di antara kita yang disadari/tidak sering melontarkan kalimat-kalimat semacam itu untuk menutupi 'rasa malas' kita mengikuti langkah anak-anak. Kita sering sekali bilang, "Hi, ada gendrowo di sana""Awas ada setan!""Awas ada anjing galak", untuk menakuti anak-anak agar langkah mereka urung. 

Apa sih yang salah dengan Mbekk Kambing, Gendrowo, Setan, Anjing dll? Kenapa anak-anak harus dikenalkan pada 'ketakutan' yang semu? Tidak bisakah kita menggunakan kalimat-kalimat yang baik dalam memberikan larangan.

Anak-anak usia 2-5 tahun memang melelahkan untuk diikuti. Jarang yang bisa tenang. Lari ke sana, lari ke sini. Lompat ke sana, lompat kemari. Begitulah. Harusnya orangtua senang karena pada masa itu anak-anak membutuhkan banyak latihan motorik kasar/halus. Sayang, mayoritas orangtua lebih senang kalau buah hatinya duduk tenang, belajar. Aktivitas motorik, selama itu tidak merugikan orang lain atau anak yang bersangkutan masih bisa dibilang wajar. Berkaitan dengan hal ini, orangtua sering merasa cemas bila buah hatinya tidak bisa diam, malah merasa buah hatinya bergangguan perilaku. Perlu saya tekankan, jangan mudah melabel gangguan bila Anda memang tidak paham. Konsultasikan pada psikolog anak saja daripada menerka-nerka.

Kembali pada masalah pemberian larangan atau bertutur kata pada umumnya, sebaiknya kita menggunakan kalimat larangan yang jelas dan tegas. Katakan saja, "Tidak!" atau "Tunggu sebentar, ibu mau makan!" atau kalimat-kalimat lain yang tidak bernada menakuti. Sebagai orangtua, sebaiknya kita lebih sering memantau dan ikut andil dalam aktivitas yang dilakukan anak-anak. Ajari mereka untuk 'waspada' sebagaimana mestinya tanpa mengkambinghitamkan makhluk lain. Semesta ini penuh kebaikan dan anak-anak harus tahu itu.




Senin, 01 Oktober 2012

Sampah Bisa Bermanfaat Juga



Jangan buang bungkus/kemasan produk di tong sampah begitu saja. Bungkus/kemasan produk bisa dimanfaatkan untuk buah hati Anda yang sedang belajar membaca. Gimana sih caranya? Simak tips berikut!
  1. Kumpulkan bungkus/kemasan produk apa saja sebanyak-banyaknya. Bisa bungkus makanan, rokok, minuman, dsb.
  2. Cuci bersih bila bungkus/kemasan berupa plastik.
  3. Gunting bagian depan (muka produk).
  4. Masukkan ke dalam toples. Goyangkan biar teracak.
  5. Minta anak mengambil dengan mata tertutup kemudian minta dia untuk membaca. Anda juga boleh ikut bermain agar lebih seru.
  6. Beri target dan hadiah; misal dalam satu hari anak harus membaca 5 kata. Bila dia berhasil maka Anda bisa mengajaknya makan es krim di teras. 
  7. Jangan lupa sesuaikan dengan kemampuan membaca anak. Bila anak masih dalam tahap mengeja suku kata dengan 2 huruf, maka jangan berikan bungkus/kemasan produk yang terlalu sulit untuk dibaca.
Bagaimana? Sudah siap untuk mempraktikkan di rumah? ;)


Jumat, 28 September 2012

Stik & Klip



Eits ibu-ibu, jangan buang stik es krim bekas begitu saja. Benda itu bisa dimanfaatkan untuk belajar berhitung buah hati Anda lho. Tapi jangan lupa dicuci sampai bersih ya biar semut-semut tidak mampir. Dijamin, acara belajar bersama buah hati jadi makin asyik. 

Anda bisa mengajak buah hati Anda duduk di teras sore-sore. Persiapakan beberapa materi; lembar kerja (bisa diunduh di sini), stik es krim (bekas/baru), klip warna-warni, pensil dan penghapus. 

Caranya:

  • Pasang sejumlah klip pada stik es krim. Lakukan pada dua stik es krim. 
  • Kemudian minta anak menghitung jumlah klip di setiap stik.
  • Setelah anak selesai mengerjakan, beri dua batang stik lagi dengan jumlah klip yang berbeda.
  • Cukup 10 soal
Bagaimana? Mudah kan? Belajar tak perlu lama-lama. Asal rutin, lama kelamaan anak akan mahir dengan sendirinya.


Selasa, 25 September 2012

Pocong Nonton Tivi


Serem? Jangan salah, buku ini tidak ada serem-seremnya sama sekali. Kumpulan dongeng anak hasil workshop media literasi ini memuat cerita-cerita yang dapat menginspirasi anak-anak supaya mereka mampu memilih mana tayangan yang baik untuk ditonton dan yang kurang layak ditonton. Disajikan dalam gaya penceritaan yang tidak menggurui namun penuh homor, Pocong Nonton Tivi berusaha mengusung visi dan misinya agar pemirsa televisi tidak hanya menonton tayangan namun juga memantau tayangan.

Buku ini cocok untuk anak-anak. Untuk yang masih di bawah umur, orangtua bisa membacakan/mendongengkan sebelum tidur. Sedangkan untuk anak-anak yang lebih besar, mereka bisa membacanya seusai pulang sekolah.

Pocong Nonton Tivi tidak di jual di toko buku, bila ingin memilikinya cukup hubungi saya atau Mbak Latree Manohara. Atau bisa kirim email di prima.kusumajati84@gmail.com


Senin, 24 September 2012

Pembatas Buku Monster

Bahan:
  • Kertas kado bekas ukuran 15 x 15 cm
  • Kertas asturo warna ukuran 6,5 x 6,5 cm
Alat:
  • Lem stik
  • Gunting
  • Spidol
Cara membuat:
Bisa dilihat pada gambar di bawah!



Yuk dicoba di rumah!! :))


Melengkapi Pohon


Minggu lalu saya mengajak Idam membuat pohon. Saya sudah membuat batang, dahan dan ranting terlebih dahulu. Kemudian saya ajak Idam untuk membuat daun hingga menutupi dahan dan ranting. Begitulah hasilnya. Keren!


Sabtu, 15 September 2012

Bendera Angka

Media untuk belajar berhitung bagi anak-anak itu banyak sekali. Seandainya ibu-ibu atau guru-guru TK lebih banyak mencaritahu, pasti anak-anak tidak lekas bosan dalam belajar berhitung. 

Media belajar berhitung dapat dibuat sendiri atau membeli. Bila orangtua tidak sibuk, disarankan untuk membuat sendiri karena lebih murah. Kali ini saya akan berbagi cara membuat media berhitung untuk anak-anak Anda. Saya beri nama Bendera Angka.

Bahan yang kita butuhkan; kawat bulu, gunting, solatip bening, kertas, tang, dan manik sedang dengan lubang kecil. Lihat gambar di bawah ini!


Cara membuatnya mudah sekali:

  • Potong kawat bulu sepanjang 15 cm. Buat sebanyak 10 buah.
  • Potong kertas berbentuk persegi dengan sisi 1,5 cm kemudian potong dan beri nomor 1 - 10.
  • Tempelkan masing-masing nomor pada ujung kawat bulu dengan solatip bening.
  • Bisa kita lihat contoh pada gambar di bawah!

Bagus bukan? :)) Minta anak untuk memasukkan sejumlah manik ke dalam kawat bulu sesuai dengan angka yang tertera di ujung. 





Kamis, 13 September 2012

Genggam Dan Hitung

Belajar berhitung untuk anak-anak tidak selalu sulit. Orangtualah yang kadang-kadang membuatnya rumit lantaran tak sabar anak-anak mereka segera menguasai materi. Perlu diingat bahwa anak-anak tidak seperti orang yang dewasa yang bisa berpikir secara kompleks. 

Menyajikan soal berhitung pada kertas, mungkin akan membuat anak Anda bosan. Jadi, Anda sebagai orangtua sebaiknya banyak mencari tahu tentang variasi-variasi lain dalam menyajikan soal. Anak-anak sebaiknya belajar melalui media agar seluruh fungsi tubuhnya menjadi aktif. Kali ini saya akan bagi-bagi sedikit tips tentang belajar berhitung untuk anak-anak TK-Kelas 1 SD.

Materi ini saya sajikan pada Nisa tadi sore dan dia lebih antusias ketimbang sebelumnya saat soal saya sajikan pada kertas. Materi yang kita butuhkan mudah dicari dan bisa diganti dengan benda-benda yang ada di sekitar kita. Jadi tak perlu membeli mahal-mahal. 

Yang kita butuhkan:
  • Benda yang mudah digenggam, bisa batu, kelereng, atau manik-manik seperti pada gambar. Bila tidak ada, Anda bisa menggunakan bawang putih/merah.
  • Wadah
  • Lembar jawaban. Bisa diunduh di sini
Langkah-langkah:
  • Minta anak untuk memasukkan tangannya ke dalam wadah lalu menggenggam materi (kelereng, manik, bawang, dsb)
  • Kemudian perintahkan agar tangan diangkat dan genggaman dibuka di atas meja.
  • Anak harus menghitung benda yang dia genggam
  • Lalu menuliskan di lembar jawaban




Gampang kan? Dijamin belajar akan lebih menyenangkan :))


Rabu, 12 September 2012

Nisa Belajar Membuat Kalimat

Nisa tidak pernah menggunakan kalimat yang baik ketika mengungkapkan sesuatu. Awalnya kebiasaan ini dibiarkan, terutama oleh orang-orang rumah. Misalnya, ketika dia ingin minum susu, Nisa cukup berkata, "Susu!" dan semua orang rumah tahu bahwa dia menginginkan susu. Pengasuh langsung ke dapur dan membuatkan susu. Begitu pula ketika dia ingin kencing, Nisa hanya berkata "Pipis!" lalu masuk ke kamar mandi. 

Hal-hal semacam ini bagi anak autis memang sering terjadi. Kebanyakan mereka memiliki perbendaharaan kata yang sangat banyak namun kesulitan untuk menggunakannya. Selain itu mereka juga punya perilaku membeo (kecenderungan untuk menirukan apa yang diucapkan orang). Nisa akan membeo kalau dia tidak tahu harus menjawab apa.

Tugas ini begitu sulit pada awalnya. Saya sampai patah hati berkali-kali mengajari Nisa mengucapkan kalimat dengan baik. Untunglah dia anak yang cerdas sehingga dengan latihan yang rutin, Nisa bisa menguasai materi. Nah belakangan ini, di sekolah, Nisa belajar membuat kalimat-kalimat sederhana seperti "Ibu pergi ke pasar", "Bapak membaca koran", dsb. 

Yang unik di sini adalah Nisa tidak menggunakan nama-nama yang selayaknya. Dia menggunakan istilah-istilah komputer dan game untuk menamai subyeknya seperti Maya II, Gamma Core, Dorsal Minor, dsb. Haha saya jadi geli sendiri sebenarnya, tapi tidak masalah. Nisa punya keinginan untuk belajar dengan baik meski dengan cara yang aneh.

Kalian ingin tahu apa yang dia tulis saat saya memintanya membuat 10 kalimat sederhana? Simak yang berikut ini:
  1. Viceroy VII minum vitamin
  2. Gamma Core makan burger
  3. Lexicon Delta pergi ke kampus
  4. Dorsal Minor mencuci sepeda
  5. Verintria XII memasak nasi goreng
  6. Maya II sedang melukis
  7. Viragoceti merusak tirai
  8. Gamma Core membersihkan kamar
  9. Viragoceti lari seperti kuda
  10. Channon Doa bermain tangram X
Hahaha, begitulah.. Tidak masalah buat saya. Justru saya banyak tahu istilah-istilah game yang dia mainkan untuk mengambilalih konsentrasinya. Nisa mungkin akan cuek ketika bertemu orang dan orang itu tidak menarik buatnya. Tapi ketika orang tersebut mengetahui istilah-istilah yang ada dalam komputer, maka Nisa akan mendekati orang itu dan dengan sukarela memperhatikan :))





Kamis, 06 September 2012

Percakapan Nisa Dan Tetangga


Hmmm.. Masih ingat Nisa? Murid saya, 7 tahun, penyandang autis. 
Sejak bersekolah, progress Nisa sangat bagus. Interaksi dengan teman sebaya dan gurunya membuat dia memiliki kosakata-kosakata baru. Selain itu, Nisa jadi lebih fokus terhadap orang lain. Tidak seperti dulu, fokusnya hanya komputer.

Kemarin sore, seusai terapi Nisa tiba-tiba keluar dari rumah. Ya, masalah keluar dari rumah itu sangat berbahaya buat kita semua. Terutama ibunya, lantaran dulu Nisa pernah hilang di Jogja. Sore itu Mak Mi (pengasuhnya) sedang sibuk mengurus galon-galon air yang baru saja diantar. Saya sendiri masih membereskan materi-materi pelajaran Nisa. Tak seorang pun yang awas. Nisa menyelinap dari rumah diam-diam. Saya baru sadar ketika Mak Mi berteriak, "Bu Prima tolong itu Nisa keluar rumah!".

Saya berlari keluar dan berhenti mendadak di depan pagar. Nisa sedang berdiri di depan rumah tetangga. Tepat di depan rumah. Pemilik rumah sedang menyiram bunga. Nisa hanya memperhatikan. Lalu saya panggil dia, "Nisa, kemari!". Nisa tidak menghiraukan perintah saya. Saya pun menghampirinya.

Lalu tetangga itu bertanya, "Hai Nisa, kamu kelas berapa?". Nisa langsung menjawab, "Kelas satu!". Saya terkejut bukan main. Nisa berkomunikasi dengan orang asing yang belum ia kenal tanpa canggung. Tanpa membeo (echolalia). Seorang pria pula. Ini sungguh luar biasa. Tak sadar saya menitikkan airmata. Sampai di rumah saya peluk dia sambil berbisik, "Anak pintar!"

Malamnya, saya ngobrol dengan ibunya. Saya ceritakan kejadian sore hari yang membuat saya terkejut. Ibunya tak kalah terkejut. Namun masih ada sedikit bimbang. Saya jelaskan pelan-pelan bahwa Nisa sudah beranjak dewasa. Bagaimanapun juga dia butuh berinteraksi dengan orang lain seperti orang kebanyakan. Dia harus berlatih mengenal kondisi sekitar rumah. Lingkungannya yang terdekat. Hal ini akan sangat membantunya di kemudian hari.

Ibu Nisa masih takut keberadaan Nisa mengganggu orang lain. Ya, kendali perilaku memang masih kurang. Lebih-lebih kalau dia melihat gadget. Bisa langsung direbut. Tapi saya pikir, semua bisa diatasi. 

Saya senang. Cukup puas. Meski belum teramat puas dengan progress yang ada. Namun, kejadian ini membuat saya lebih semangat untuk menjadikan Nisa lebih baik lagi dari sekarang.