Kamis, 29 November 2012

Tegas, Tak Harus Marah/Bersuara Keras

Bagian paling sulit dalam pengasuhan yang sering dikeluhkan ibu-ibu adalah tegas pada anak. Benar? Ya, saya kira memang benar. Orangtua, apalagi ibu, biasanya memang kurang konsisten dalam menerapkan aturan untuk anak. Alasannya macam-macam, tidak tega, kasihan, takut dibenci anak, dll. Itu wajar.

Namun, bila hal ini terus berlanjut, orangtua akan makin kesulitan menghadapi anak-anak yang mulai dewasa. Kunci dari pengasuhan adalah tegas dan kasih sayang. Tegas sering disalahartikan dengan marah/bersuara keras. Padahal ini sama sekali berbeda konsep. Tegas itu merupakan sikap, sesuatu yang diyakini dan secara konsisten dilakukan, serta berkaitan dengan konsekuensi. Mari kita lihat bedanya.

Aturan
Habis bermain, mainan harus dibereskan dan kamar bersih. Bila itu dilakukan, maka anak tidak boleh bermain komputer, misalnya.

Perilaku anak
Bermain dan meninggalkan kamar acak-acakan, mainan berserakan dan kotor.

Tegas
Katakan bahwa dia tidak membereskan kamarnya seusai bermain, dan sesuai kesepakatan dia tidak diijinkan main komputer dalam satu hari. (usahakan, hukuman berupa larangan akan sesuatu yang sangat disenangi anak). Konsistenlah pada konsekuensi yang telah disepakati. Tunjukkan kesalahannya dan tunjukkan konsekuensi yang harus dia terima. Semua dilakukan tanpa nada keras.

Marah
Mengomel pada anak dengan suara keras/berteriak, atau bahkan memukul atau mencubit anak sambil mengatakan bahwa dia nakal karena telah mengotori kamarnya. Namun, Anda tetap membantu membereskan kamarnya.

Marah dan tidak konsisten akan membuat Anda tidak dipercaya anak-anak dan ada kecenderungan mereka menyepelekan Anda. Namun, ketegasan membuat mereka belajar mengerti tentang kesalahan mereka dan apa yang harus mereka terima, serta belajar untuk berperilaku yang lebih baik.

Bersikap tegas itu sulit. Anda harus berlatih mulai dari hal-hal kecil. Utamakan bersikap tegas pada diri Anda sendiri, baru pada anak. Semoga membantu.


Anak Autis Itu Rigid

Ada beberapa hal unik yang bisa kita jumpai pada anak autis. Salah satunya rigid/kaku. Mereka menyukai aktivitas sama yang berulang-ulang dan akan mengalami kecemasan saat aktivitas/kebiasaan berubah. Berkaitan dengan hal ini, saya punya dua cerita untuk Anda.

Pertama, cerita dari Nisa, murid saya. Nisa, seorang anak perempuan berusia 7 tahun, penyandang autis, dan sudah sekolah kelas 1 SD. Dua hari yang lalu saya mengubah jadwal terapi lantaran saya hendak bepergian. Terapi biasanya dimulai jam 4 sore (sepulang sekolah) dan selesai jam 5. Terapi Nisa hanya difokuskan pada aktivitas-aktivitas selfcare dan ketrampilan-ketrampilan sehari-hari agar Nisa tidak begitu tergantung pada orang lain.

Nah, karena saya harus pergi ke Merapi, jadwal terapi berubah dari jam 4 menjadi jam 3 sore. Hari itu, Nisa tidak ikut eskul, jam 3 dijemput orangtuanya dan terapi. Sampai di rumahnya, di halaman, saya dengar Nisa menangis. Saya buru-buru masuk dan langsung menuju kamarnya. Tangisnya makin parah ketika saya masuk. Dia berteriak, "Bu Prima pulang!!!". Wajahnya ditutupi guling. Saya mendekati dan menyentuh bahunya. Nisa makin kencang berteriak, "Bu Prima pulang saja!!"

Lalu saya singkirkan guling dari wajahnya dan saya peluk dia. Tangisnya sedikit redam, lalu saya minta dia duduk. "Nisa, tidak menangis! Hari ini kita terapi jam 3. Kemarin kan Bu Prima sudah bilang kalau hari ini kita terapi jam 3, selesai jam 4," kata saya tegas (tidak marah).

"Tidak terapi!" kata Nisa.
"Kita harus terapi!"
"Tidaaakk??"
"Oke. Sekarang Bu Prima mau menggambar saja!" Saya tinggalkan di tempat tidur lalu duduk untuk menggambar.

Beberapa detik kemudian Nisa sudah duduk di dekat saya dan berkata, "Yuk, bikin kodok yuk!"

Hahahaha, begitulah mereka dan saya tak heran dengan kejadian-kejadian macam itu. Terlalu sering terjadi dan saya sudah tahu bagaimana menghadapinya.

Kedua, ini cerita tentang Ivan, murid saya di Primakids Learning Center. Ivan usianya 6 tahun, homeschooling dengan ibunya (dengan pantauan saya). Saya paling suka dengan ibunya. Begitu tahu Ivan autis di usia tiga tahun, wanita ramah ini memutuskan keluar dari pekerjaannya dan full time mengasuh Ivan di rumah. Di usia 6 tahun, Ivan yang menyandang autis ini sudah sangat mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Dia bisa makan sendiri, mandi, cebok, tidur, berpakaian, dan beberapa aktivitas rumah yang lain.

Berbeda dengan Nisa yang bisa berkomunikasi secara verbal, Ivan belum mampu. Namun secara reseptif, Ivan paham dengan perintah.

Ivan punya banyak ritual wajib dan bila ritual ini berubah maka moodnya akan berubah menjadi buruk. Setiap pagi, Ivan akan mematikan semua lampu di rumahnya, kemudian membuka tirai dan jendela. Begitu pula bila sore datang, Ivan akan menutup jendela dan menghidupkan semua lampu di rumahnya. Bila tugas itu dikerjakan orang lain, maka ia akan menangis.

Di Primakids Learning Center, setiap terapi, dia akan turun dari motor, membuka gerbang, membiarkan ibunya memasukkan motor ke halaman, menutup gerbang, lalu memeluk saya di depan pintu. Begitu juga ketika ia pulang. Itu ritualnya. Awalnya saya tidak sadar, lalu entah kenapa saya ingin membuka pintu saat ia pulang. Spontan Ivan langsung menangis. Dan saya sadar, saya telah mengganggu ritualnya. Maka saya bergerak mundur, menutup pintu kembali dan membiarkan dia yang membuka. Hahaha..

Bagi beberapa orang terdekat seperti orangtua dan saudara, perilaku-perilaku macam ini kadang-kadang dimanfaatkan. Anak-anak autis begitu mudah ditebak dan tidak pernah berontak untuk urusan kekakuan ini. Namun, rutinitas yang kaku sebetulnya juga akan menghambat interaksi sosial. Orangtua Nisa misalnya, mereka lebih suka Nisa duduk berlama-lama di depan komputer atau menggambar ketimbang melakukan aktivitas permainan lain. Alasannya, untuk orangtua karir mungkin lebih mudah dalam pengasuhan. Berbeda dengan ayah Ivan yang yang selalu mengacak rutinitas, misal dengan menginterupsi ritual Ivan. Ia tak peduli seberapa frustasi anaknya ketika ritual itu berubah lantaran ingin anaknya mampu beradaptasi dalam bermacam kondisi.

Bagaimana mengatasi ini?

Anak-anak autis tampaknya memerlukan rutinitas dan konsistensi yang lebih tinggi dibanding anak-anak pada umumnya. Namun, kita bisa mengajarkan fleksibilitas pada mereka. Cara untuk mengajarkan fleksibilitas yaitu dengan menawarkan aktivitas lain yang lebih menyenangkan. Seperti yang saya lakukan pada Nisa, bahwa terapi pukul 3 atau pukul 4 tidak ada bedanya karena dia masih bisa mengerjakan hal-hal yang dia sukai sama seperti sebelumnya.

Perubahan akan selalu diawali dengan tantrum. Itu pasti. Namun, biasanya tantrum tidak berlangsung lama ketika dengan cekatan kita bisa mengalihkan perhatiannya. Hmmm, dan kesabaran tetap diperlukan di sini.

Yang jelas, jangan berusaha memaksa anak masuk dalam cara hidup yang berbeda seperti keinginan kita. Namun membantu anak memahami bahwa sebuah fleksibilitas itu bermanfaat dan menyenangkan. Jangan lupa pujian setelah anak berhasil beradaptasi.


Minggu, 18 November 2012

Kesehatan Reproduksi (Kespro) Sejak Dini

Dua minggu lalu saya diminta seorang teman lama untuk jadi pembicara dalam dasa wisma dengan tema edukasi seks. Ngomong-ngomong soal edukasi seks, saya sebetulnya kurang sepakat menggunakan istilah ini karena akan menimbulkan banyak kerancuan. Namun, mau bagaimana lagi, istilah 'edukasi seks' tampaknya sudah familiar di kalangan masyarakat dan memang benar, ketika mendengar istilah 'pendidikan seks' orangtua cenderung berpikir bahwa hal ini merupakan suatu pelajaran tentang seks.

Padahal bukan. Di Barat, istilah edukasi seks memang pada akhirnya gagal dalam menjalankan fungsinya dan  diasumsikan pada 'bagaimana cara melakukan seks yang aman'. Namun, akan menimbulkan masalah ketika itu dilakukan di Indonesia meski pada kenyataannya memang hal ini sudah salah kaprah.

Banyak fakta menunjukkan bahwa banyak kejahatan seks yang terjadi pada anak-anak. Dalam pertemuan malam itu, banyak orangtua yang berbagi cerita tentang masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi anak-anak antara lain; anak-anak yang mendapat info tentang seks dari orang lain, kejahatan seks yang dilakukan tetangga, remaja-remaja yang ingin tahu tentang seks, dan bagaimana sebaiknya menyampaikan masalah kesehatan reproduksi pada anak.

Jadi apa sih sebenarnya 'seks' itu?
Seks merupakan jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis.

Apa itu kesehatan reproduksi?
Kesehatan reproduksi merupakan suatu proses yang integratif dengan memadukan pengetahuan biologis, nilai moral, aspek psikologis, dan landasan agama. Jadi bisa dikatakan bahwa kesehatan reproduksi (kespro) merupakan antisipasi atau upaya agar anak bertanggungjawab pada kesehatan reproduksinya sejak dini.

Kenapa kespro penting?
Masalah kesehatan reproduksi ini menjadi penting agar anak-anak bertanggung jawab pada kesehatan reproduksinya serta mengantisipasi lingkungan sosial masyarakat yang menawarkan perihal seks hanya sebatas komoditi. Seperti kita tahu bahwa pesatnya teknologi berakibat pada banyaknya persediaan informasi tanpa saringan usia. Tak ada batasan untuk mengakses informasi melalui media televisi/internet. Anak-anak lebih mudah terkena imbasnya dan orangtua sebaiknya memang tidak tinggal diam.

Kenapa diberikan sejak dini?
Untuk menekan laju angka penderita penyakit kelamin, tindakan aborsi pada remaja yang bisa mengakibatkan kematian, serta mencegah perilaku penyimpangan seksual.

Bagaimana penyampaian yang tepat?
Ada beberapa poin penting. Pertama, mengenalkan perbedaan lawan jenis. Bahwa ada laki-laki dan perempuan. Kedua, memperkenalkan organ seks seperti memperkenalkan organ-organ yang lain pada tubuh anak. Jangan sampai anak tidak mengenali organ seksnya karena hal ini dapat menimbulkan kebingungan ketika sesuatu terjadi pada organ seksnya. Pada banyak kasus, anak-anak yang jadi korban kejahatan seksual seringkali tidak bisa menceritakan apa yang dialaminya karena mereka tidak mengenal nama organ seksnya serta diancam pelaku. Ketiga, menghindarkan anak dari kemungkinan pelecehan dengan memberitahu bahwa tidak semua orang boleh menyentuh organ seksnya, anak boleh berteriak atau menolah ketika orang lain menyentuh organ seksnya. Sampaikan dengan bahasa yang khas untuk anak-anak, jangan terkesan menggurui dan marah. Serta sesuaikan dengan perkembangan usia.

Acara malam itu berlangsung seru dan interaktif. Bapak-bapak maupun ibu-ibu banyak yang bertanya pada saya. Kebanyakan mengeluhkan tayangan televisi yang menyajikan tayangan-tayangan sampah, juga ketidakmampuan orangtua mengontrol kegiatan anak-anak terutama yang terkait dengan gadget. Solusi dari saya sederhana; komunikasi yang berkualitas dengan anak-anak, luangkan waktu untuk anak-anak, dan jadilah sahabat mereka.
  1. Komunikasi yang berkualitas dengan anak-anak itu penting. Banyak orangtua yang melewatkan hal ini karena terlalu sibuk bekerja. Sebetulnya berkomunikasi dengan anak-anak itu mudah ketika kita sering melakukannya. Tanyakan apa saja yang dilakukan dia saat bermain di luar rumah. Tak lantas bertanya seperti menghakimi. Pertanyaan bisa diawali dengan duduk bersama di teras sambil mengunyah cemilan. Orangtua boleh menceritakan aktivitasnya di kantor lebih dulu, misal "Oh ya, tadi papa rapat sampai sore, capek sekali. Kamu tadi main sama siapa? Ngapain aja?"
  2. Luangkan waktu untuk anak-anak untuk mengantisipasi anak berkegiatan sendiri tanpa pengawasan misal terlalu banyak bermain hape atau menonton televisi sendiri. Anak-anak usia 1-5 tahun merupakan masa di mana perkembangan motorik anak sedang berlangsung pesat. Ada baiknya anak-anak bermain fisik seperti berkejar-kejaran, bersepeda, atau permainan-permainan yang melibatkan alam dan interaksi sosial. Mengawasi anak-anak bermain di sore hari akan lebih baik daripada membiarkan anak-anak menonton televisi/bermain hp dalam rumah.
  3. Jadilah sahabat bagi anak-anak agar mereka tak segan bercerita dan berbagi apa saja dengan Anda. Hal ini memudahkan orangtua memantau anak-anak dan menanamkan nilai-nilai moral yang baik pada mereka.
Oke, kira-kira itu yang bisa saya bagi. Semoga bermanfaat.








Kamis, 08 November 2012

Sekolah, Apakah Hanya Seonggok Bangunan?



Selain persoalan ijazah, apa yang membuat Anda masih berniat menyekolahkan buah hati? Sedangkan Anda tahu bahwa kurikulum untuk anak-anak mulai tidak bersahabat belakangan ini. Saya mendapat banyak alternatif jawaban dari pertanyaan di atas; mulai masalah gengsi, masalah sosialisasi, sampai ketidakyakinan orangtua mampu memberikan pendidikan yang layak pada anak tanpa menyekolahkannya di sekolah formal. 

Berkaitan dengan kurikulum di Indonesia, sekolah memberikan tuntutan akademis yang besar pada siswanya. Ironisnya, besarnya tuntutan akademis yang diterima anak tak hanya berlangsung saat di sekolah. Di rumah, rupanya anak-anak juga dituntut untuk lebih giat belajar agar tidak ketinggalan dengan teman yang lain. Orangtua berupaya agar segala kebutuhan anak terpenuhi sebagai kompensasi dari besarnya tuntutan akademis di sekolah. Bila perlu anak-anak harus mengambil les di semua mata pelajaran. 

Hal ini rupanya menjangkiti hampir semua tingkat pendidikan termasuk TK/PAUD. Untuk anak-anak yang lebih muda (usia PAUD/TK) beberapa orangtua bahkan mencari guru khusus untuk melatih buah hati mereka agar menguasai kemampuan calistung (baca, tulis, hitung) lantaran kemampuan tersebut menjadi syarat untuk masuk SD . Bisa Anda bayangkan betapa stresnya anak-anak menghadapi tuntutan ini? Sekolah bukan lagi tempat yang dirindukan anak-anak, melainkan menjadi lokasi yang begitu menakutkan di mata anak-anak.

Di samping itu, persoalan biaya mulai dikeluhkan orangtua. Sudah jadi rahasia umum, banyak PAUD/TK yang mematok biaya mahal, baik itu biaya masuk atau bulanan sebagai dalih atas program-program yang ditawarkan. Padahal program-program yang ditawarkan tersebut belum tentu sesuai untuk anak. Sebagai kompensasi dari biaya yang telah dikeluarkan, orangtua menuntut buah hatinya untuk lebih cerdas dari anak-anak seusianya. Lebih parah lagi, tanpa disadari orangtua menjadikan anak sebagai aset/investasi. Sekolah agaknya turut mempertajam kesenjangan sosial di masyarakat.

Baik PAUD/TK esensinya merupakan tempat kedua bagi anak (setelah lingkungan rumah) untuk melakukan adaptasi mengenai banyak hal sebelum menginjak ke jenjang sekolah dasar. Normalnya, PAUD/TK tidak mengajarkan hal-hal yang sulit kepada anak karena di sinilah anak mulai mengembangkan rasa percaya pada lingkungan baru. Kegiatan belajar umumnya difokuskan pada latihan-latihan kemandirian, interaksi sosial, komunikasi, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan. Materi belajar disajikan dalam bentuk permainan dan bukan worksheet di mana anak harus berhadapan dengan lembar kerja/latihan soal.

Pada usia ini (2-7 tahun) anak-anak berada pada tahap pra-operasinal (menurut Jean Piaget) di mana mereka sedang belajar mengenal lingkungan melalui simbol-simbol bahasa, imitasi, dan permainan. Itulah mengapa sebaiknya materi-materi di PAUD/TK disajikan dalam pola-pola bermain untuk merangsang perkembangan kognitif anak. Anak-anak pada tahap ini segala perbuatan rasionalnya belum didasari pada pemikiran, namun masih menggunakan perasaan. Mereka mulai mengerti hubungan sebab akibat meski logika hubungannya belum tepat. Jadi wajar bila di usia ini anak-anak mengeksplorasi banyak hal, ditandai dengan tidak bisa diam atau selalu ingin tahu. Secara motorik, organ-organ mereka sudah mulai matang sehingga perlu dirangsang dengan kegiatan-kegiatan yang menunjang.

Guru atau orangtua diharapkan tidak terlalu berorientasi pada hasil, namun pada proses di mana kegagalan/keberhasilan anak bukanlah efek dari tuntutan. Tahap ini merupakan tahapan penting perkembangan manusia terutama dalam pembentukan karakter. Banyak yang bilang jadi guru PAUD/TK itu mudah karena hanya mengajari anak kecil. Pandangan ini tentu saja sangat keliru. Justru profesi guru PAUD/TK merupakan profesi yang paling sulit. Itulah kenapa ada pepatah, "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa". Segala penanaman yang keliru sejak dini akan berimbas pada masa selanjutnya. Pembentukan karakter anak di sekolah akan menjadi kunci kuat/rapuhnya suatu bangsa.

Sangat memprihatinkan ketika banyak guru PAUD/TK tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sama. Di kota-kota kecil, ibu rumah tangga bisa mendirikan PAUD/TK hanya karena tenaga guru PAUD/TK sangat kurang. Bisa dibayangkan bagaimana praktek yang terjadi tanpa pengetahuan yang cukup.

Seiring perkembangan jaman dan teknologi yang semakin pesat, pemerintah seharusnya tidak menganggap remeh hal ini. Banyak orang tua yang merasa tidak puas dengan pelayanan dunia pendidikan. Sekolah dianggap sebagai alternatif yang gagal dalam mengembangkan anak-anak. Guru-guru hanya sekedar menjalankan tugas dan mengejar sertifikasi tanpa jiwa pengabdian. Tak sedikit musibah yang terjadi di sekolah; tindak kekerasan, tawuran, aborsi, perkosaan, depresi dan masih banyak lagi. Masihkah sekolah menjalankan fungsinya sebagai tempat bersosialisasi? Saya kira tidak.

Banyak orangtua yang akhirnya memilih sekolah rumah (atau sering kita sebut homeschool) untuk buah hatinya. Mereka tak percaya lagi dengan lembaga sekolah yang dipandang tidak mampu mengembangkan keunikan anak. Homeschooling dipandang sebagai solusi. Pendidikan kini tak layak dilabeli mahal ketika pengetahuan banyak disajikan di internet yang merambah ke semua lapisan kehidupan. Hampir segala informasi bisa kita peroleh secara cuma-cuma dan pandangan orang-orang tentang dunia menjadi terbuka. Bila lembaga sekolah masih 'adem ayem' saja mengatasi kondisi ini, beberapa  tahun ke depan, bisa jadi sekolah hanyalah seonggok bangunan yang tak lagi punya kenangan. 

Semoga ini menjadi renungan kita bersama untuk perbaikan kualitas pendidikan Indonesia terutama masalah perbaikan sumber daya guru PAUD/TK.









*Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog Gerakan Indonesia Berkibar