Kamis, 08 November 2012

Sekolah, Apakah Hanya Seonggok Bangunan?



Selain persoalan ijazah, apa yang membuat Anda masih berniat menyekolahkan buah hati? Sedangkan Anda tahu bahwa kurikulum untuk anak-anak mulai tidak bersahabat belakangan ini. Saya mendapat banyak alternatif jawaban dari pertanyaan di atas; mulai masalah gengsi, masalah sosialisasi, sampai ketidakyakinan orangtua mampu memberikan pendidikan yang layak pada anak tanpa menyekolahkannya di sekolah formal. 

Berkaitan dengan kurikulum di Indonesia, sekolah memberikan tuntutan akademis yang besar pada siswanya. Ironisnya, besarnya tuntutan akademis yang diterima anak tak hanya berlangsung saat di sekolah. Di rumah, rupanya anak-anak juga dituntut untuk lebih giat belajar agar tidak ketinggalan dengan teman yang lain. Orangtua berupaya agar segala kebutuhan anak terpenuhi sebagai kompensasi dari besarnya tuntutan akademis di sekolah. Bila perlu anak-anak harus mengambil les di semua mata pelajaran. 

Hal ini rupanya menjangkiti hampir semua tingkat pendidikan termasuk TK/PAUD. Untuk anak-anak yang lebih muda (usia PAUD/TK) beberapa orangtua bahkan mencari guru khusus untuk melatih buah hati mereka agar menguasai kemampuan calistung (baca, tulis, hitung) lantaran kemampuan tersebut menjadi syarat untuk masuk SD . Bisa Anda bayangkan betapa stresnya anak-anak menghadapi tuntutan ini? Sekolah bukan lagi tempat yang dirindukan anak-anak, melainkan menjadi lokasi yang begitu menakutkan di mata anak-anak.

Di samping itu, persoalan biaya mulai dikeluhkan orangtua. Sudah jadi rahasia umum, banyak PAUD/TK yang mematok biaya mahal, baik itu biaya masuk atau bulanan sebagai dalih atas program-program yang ditawarkan. Padahal program-program yang ditawarkan tersebut belum tentu sesuai untuk anak. Sebagai kompensasi dari biaya yang telah dikeluarkan, orangtua menuntut buah hatinya untuk lebih cerdas dari anak-anak seusianya. Lebih parah lagi, tanpa disadari orangtua menjadikan anak sebagai aset/investasi. Sekolah agaknya turut mempertajam kesenjangan sosial di masyarakat.

Baik PAUD/TK esensinya merupakan tempat kedua bagi anak (setelah lingkungan rumah) untuk melakukan adaptasi mengenai banyak hal sebelum menginjak ke jenjang sekolah dasar. Normalnya, PAUD/TK tidak mengajarkan hal-hal yang sulit kepada anak karena di sinilah anak mulai mengembangkan rasa percaya pada lingkungan baru. Kegiatan belajar umumnya difokuskan pada latihan-latihan kemandirian, interaksi sosial, komunikasi, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan. Materi belajar disajikan dalam bentuk permainan dan bukan worksheet di mana anak harus berhadapan dengan lembar kerja/latihan soal.

Pada usia ini (2-7 tahun) anak-anak berada pada tahap pra-operasinal (menurut Jean Piaget) di mana mereka sedang belajar mengenal lingkungan melalui simbol-simbol bahasa, imitasi, dan permainan. Itulah mengapa sebaiknya materi-materi di PAUD/TK disajikan dalam pola-pola bermain untuk merangsang perkembangan kognitif anak. Anak-anak pada tahap ini segala perbuatan rasionalnya belum didasari pada pemikiran, namun masih menggunakan perasaan. Mereka mulai mengerti hubungan sebab akibat meski logika hubungannya belum tepat. Jadi wajar bila di usia ini anak-anak mengeksplorasi banyak hal, ditandai dengan tidak bisa diam atau selalu ingin tahu. Secara motorik, organ-organ mereka sudah mulai matang sehingga perlu dirangsang dengan kegiatan-kegiatan yang menunjang.

Guru atau orangtua diharapkan tidak terlalu berorientasi pada hasil, namun pada proses di mana kegagalan/keberhasilan anak bukanlah efek dari tuntutan. Tahap ini merupakan tahapan penting perkembangan manusia terutama dalam pembentukan karakter. Banyak yang bilang jadi guru PAUD/TK itu mudah karena hanya mengajari anak kecil. Pandangan ini tentu saja sangat keliru. Justru profesi guru PAUD/TK merupakan profesi yang paling sulit. Itulah kenapa ada pepatah, "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa". Segala penanaman yang keliru sejak dini akan berimbas pada masa selanjutnya. Pembentukan karakter anak di sekolah akan menjadi kunci kuat/rapuhnya suatu bangsa.

Sangat memprihatinkan ketika banyak guru PAUD/TK tidak memiliki latar belakang pendidikan yang sama. Di kota-kota kecil, ibu rumah tangga bisa mendirikan PAUD/TK hanya karena tenaga guru PAUD/TK sangat kurang. Bisa dibayangkan bagaimana praktek yang terjadi tanpa pengetahuan yang cukup.

Seiring perkembangan jaman dan teknologi yang semakin pesat, pemerintah seharusnya tidak menganggap remeh hal ini. Banyak orang tua yang merasa tidak puas dengan pelayanan dunia pendidikan. Sekolah dianggap sebagai alternatif yang gagal dalam mengembangkan anak-anak. Guru-guru hanya sekedar menjalankan tugas dan mengejar sertifikasi tanpa jiwa pengabdian. Tak sedikit musibah yang terjadi di sekolah; tindak kekerasan, tawuran, aborsi, perkosaan, depresi dan masih banyak lagi. Masihkah sekolah menjalankan fungsinya sebagai tempat bersosialisasi? Saya kira tidak.

Banyak orangtua yang akhirnya memilih sekolah rumah (atau sering kita sebut homeschool) untuk buah hatinya. Mereka tak percaya lagi dengan lembaga sekolah yang dipandang tidak mampu mengembangkan keunikan anak. Homeschooling dipandang sebagai solusi. Pendidikan kini tak layak dilabeli mahal ketika pengetahuan banyak disajikan di internet yang merambah ke semua lapisan kehidupan. Hampir segala informasi bisa kita peroleh secara cuma-cuma dan pandangan orang-orang tentang dunia menjadi terbuka. Bila lembaga sekolah masih 'adem ayem' saja mengatasi kondisi ini, beberapa  tahun ke depan, bisa jadi sekolah hanyalah seonggok bangunan yang tak lagi punya kenangan. 

Semoga ini menjadi renungan kita bersama untuk perbaikan kualitas pendidikan Indonesia terutama masalah perbaikan sumber daya guru PAUD/TK.









*Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog Gerakan Indonesia Berkibar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar