Kamis, 29 November 2012

Anak Autis Itu Rigid

Ada beberapa hal unik yang bisa kita jumpai pada anak autis. Salah satunya rigid/kaku. Mereka menyukai aktivitas sama yang berulang-ulang dan akan mengalami kecemasan saat aktivitas/kebiasaan berubah. Berkaitan dengan hal ini, saya punya dua cerita untuk Anda.

Pertama, cerita dari Nisa, murid saya. Nisa, seorang anak perempuan berusia 7 tahun, penyandang autis, dan sudah sekolah kelas 1 SD. Dua hari yang lalu saya mengubah jadwal terapi lantaran saya hendak bepergian. Terapi biasanya dimulai jam 4 sore (sepulang sekolah) dan selesai jam 5. Terapi Nisa hanya difokuskan pada aktivitas-aktivitas selfcare dan ketrampilan-ketrampilan sehari-hari agar Nisa tidak begitu tergantung pada orang lain.

Nah, karena saya harus pergi ke Merapi, jadwal terapi berubah dari jam 4 menjadi jam 3 sore. Hari itu, Nisa tidak ikut eskul, jam 3 dijemput orangtuanya dan terapi. Sampai di rumahnya, di halaman, saya dengar Nisa menangis. Saya buru-buru masuk dan langsung menuju kamarnya. Tangisnya makin parah ketika saya masuk. Dia berteriak, "Bu Prima pulang!!!". Wajahnya ditutupi guling. Saya mendekati dan menyentuh bahunya. Nisa makin kencang berteriak, "Bu Prima pulang saja!!"

Lalu saya singkirkan guling dari wajahnya dan saya peluk dia. Tangisnya sedikit redam, lalu saya minta dia duduk. "Nisa, tidak menangis! Hari ini kita terapi jam 3. Kemarin kan Bu Prima sudah bilang kalau hari ini kita terapi jam 3, selesai jam 4," kata saya tegas (tidak marah).

"Tidak terapi!" kata Nisa.
"Kita harus terapi!"
"Tidaaakk??"
"Oke. Sekarang Bu Prima mau menggambar saja!" Saya tinggalkan di tempat tidur lalu duduk untuk menggambar.

Beberapa detik kemudian Nisa sudah duduk di dekat saya dan berkata, "Yuk, bikin kodok yuk!"

Hahahaha, begitulah mereka dan saya tak heran dengan kejadian-kejadian macam itu. Terlalu sering terjadi dan saya sudah tahu bagaimana menghadapinya.

Kedua, ini cerita tentang Ivan, murid saya di Primakids Learning Center. Ivan usianya 6 tahun, homeschooling dengan ibunya (dengan pantauan saya). Saya paling suka dengan ibunya. Begitu tahu Ivan autis di usia tiga tahun, wanita ramah ini memutuskan keluar dari pekerjaannya dan full time mengasuh Ivan di rumah. Di usia 6 tahun, Ivan yang menyandang autis ini sudah sangat mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Dia bisa makan sendiri, mandi, cebok, tidur, berpakaian, dan beberapa aktivitas rumah yang lain.

Berbeda dengan Nisa yang bisa berkomunikasi secara verbal, Ivan belum mampu. Namun secara reseptif, Ivan paham dengan perintah.

Ivan punya banyak ritual wajib dan bila ritual ini berubah maka moodnya akan berubah menjadi buruk. Setiap pagi, Ivan akan mematikan semua lampu di rumahnya, kemudian membuka tirai dan jendela. Begitu pula bila sore datang, Ivan akan menutup jendela dan menghidupkan semua lampu di rumahnya. Bila tugas itu dikerjakan orang lain, maka ia akan menangis.

Di Primakids Learning Center, setiap terapi, dia akan turun dari motor, membuka gerbang, membiarkan ibunya memasukkan motor ke halaman, menutup gerbang, lalu memeluk saya di depan pintu. Begitu juga ketika ia pulang. Itu ritualnya. Awalnya saya tidak sadar, lalu entah kenapa saya ingin membuka pintu saat ia pulang. Spontan Ivan langsung menangis. Dan saya sadar, saya telah mengganggu ritualnya. Maka saya bergerak mundur, menutup pintu kembali dan membiarkan dia yang membuka. Hahaha..

Bagi beberapa orang terdekat seperti orangtua dan saudara, perilaku-perilaku macam ini kadang-kadang dimanfaatkan. Anak-anak autis begitu mudah ditebak dan tidak pernah berontak untuk urusan kekakuan ini. Namun, rutinitas yang kaku sebetulnya juga akan menghambat interaksi sosial. Orangtua Nisa misalnya, mereka lebih suka Nisa duduk berlama-lama di depan komputer atau menggambar ketimbang melakukan aktivitas permainan lain. Alasannya, untuk orangtua karir mungkin lebih mudah dalam pengasuhan. Berbeda dengan ayah Ivan yang yang selalu mengacak rutinitas, misal dengan menginterupsi ritual Ivan. Ia tak peduli seberapa frustasi anaknya ketika ritual itu berubah lantaran ingin anaknya mampu beradaptasi dalam bermacam kondisi.

Bagaimana mengatasi ini?

Anak-anak autis tampaknya memerlukan rutinitas dan konsistensi yang lebih tinggi dibanding anak-anak pada umumnya. Namun, kita bisa mengajarkan fleksibilitas pada mereka. Cara untuk mengajarkan fleksibilitas yaitu dengan menawarkan aktivitas lain yang lebih menyenangkan. Seperti yang saya lakukan pada Nisa, bahwa terapi pukul 3 atau pukul 4 tidak ada bedanya karena dia masih bisa mengerjakan hal-hal yang dia sukai sama seperti sebelumnya.

Perubahan akan selalu diawali dengan tantrum. Itu pasti. Namun, biasanya tantrum tidak berlangsung lama ketika dengan cekatan kita bisa mengalihkan perhatiannya. Hmmm, dan kesabaran tetap diperlukan di sini.

Yang jelas, jangan berusaha memaksa anak masuk dalam cara hidup yang berbeda seperti keinginan kita. Namun membantu anak memahami bahwa sebuah fleksibilitas itu bermanfaat dan menyenangkan. Jangan lupa pujian setelah anak berhasil beradaptasi.


2 komentar:

  1. Jadi ingat sama serial parenthood mba, asperger syndrome ya namanya?
    Saya kurang begitu tahu tentang terapi seperti ini. but I think I know you're doing something great mba :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Nisa ini masuk ke Asperger. Wuih.. Campur aduk rasanya menangani Nisa :D

      Hapus