Sabtu, 01 September 2012

Pentingnya Self Care Bagi Anak


Orang tua kadang lupa betapa penting kegiatan merawat diri bagi anak-anak yang akan masuk ke sekolah. Sayangnya, fokus orang tua lebih tertuju pada materi-materi di luar itu. Baca, tulis, hitung misalnya. Para ibu gila-gilaan mengupayakan agar sebelum masuk sekolah anak-anak mereka sudah menguasai materi-materi tersebut. Tentu saja dengan berbagai cara, mulai dari mengajari sendiri bagi yang mampu dan mencarikan guru les bagi yang tidak mampu. Tuntutan dari Sekolah Dasar (SD) yang cukup berat itu membuat materi-materi esensial terlupa.

Self care atau kegiatan merawat diri belakangan banyak dilupakan orang tua maupun sekolah. Kegiatan merawat diri ini meliputi; kemampuan berpakaian, aktivitas makan-minum, sikat gigi, memakai sepatu, cuci tangan, toilet training dan lain sebagainya yang dilakukan secara mandiri. Secara tidak langsung, kegiatan merawat diri ini mempengaruhi harga diri anak. Tentu saja, anak-anak yang sudah bisa merawat diri sendiri akan lebih percaya diri dari anak-anak yang belum mampu. Harga diri yang baik akan berpengaruh pada sosialisasi dengan lingkungan. Anak-anak dengan harga diri yang tinggi dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan menciptakan kontak sosial dengan orang lain.

Saya sendiri sebagai terapis punya beberapa pengalaman dengan hal ini. Sebagian besar orang tua mempercayakan anak-anaknya pada saya tak lain lantaran ingin anak-anak mereka menguasai tugas-tugas perkembangan yang belum dikuasai. Ya, bisa ditebak. Tugas yang dimaksud biasanya seputar kekurangan mereka di bidang akademik.  “Anak saya belum bisa baca, Bu!”, “Si Anu belum bisa menulis, tapi membaca bisa.” bla..bla..bla..

Anak-anak ditekan untuk belajar secara akademis tapi tidak untuk belajar hidup dalam lingkungan yang semestinya. Kadang-kadang saya prihatin, murid-murid yang memang sudah terdiagnosa retardasi mental pun masih dibebani dengan serangkaian tugas akademik. Tak sedikit yang datang dengan menggunakan pempers, tidak bisa menggunakan sendok garpu, dan tak bisa pakai baju sendiri.

Saya punya cerita waktu saya kecil, ada teman di kelas yang pernah berak di kelas karena tidak bisa cebok. Suatu hari kami sedang mengikuti pelajaran menyalin tulisan di papan tulis. Anak-anak sibuk dengan bukunya sendiri-sendiri. Seorang anak laki-laki yang duduk di bangku sebelah saya berkeringat dingin. Bajunya basah dan wajahnya pucat. Saya awalnya tidak tahu apa yang terjadi. Sampai ada teman yang berseloroh, “Ada yang ngobrok (berak), Bu!”.

Bu guru menghampiri anak yang berseloroh tadi lalu mendapati bau berada di sebelah saya. Anak laki-laki itu kaku. Dia tidak menulis, tidak juga menoleh. Sampai bu guru menemduga bahwa bau itu berasal dari tempatnya. Celananya sudah kotor, kursi basah. Dia mencret. Anak laki-laki itu dibawa ke UKS setelah kotorannya dibersihkan.

Setelah kejadian itu, anak laki-laki itu dapat julukan “Tukang Ngobrok” dari salah seorang teman yang superior di kelas. Si Tukang Ngobrok jadi bulan-bulanan sampai kami lulus dan dia menjadi semakin inferior.

Sepenggal cerita itu mungkin banyak dialami anak-anak dan efeknya bisa dibilang tidak ringan. Label yang dibawa, harga diri, pergaulan, prestasi, semua akan dipengaruhi. Padahal itu hanyalah hal kecil yang terjadi dalam hidup.

Itulah kenapa saya selalu menekankan pada orang tua yang hendak memasukkan anaknya sekolah atau sedang menempuh jenjang PAUD/TK agar tidak melupakan pentingnya merawat diri. Di Primakids Learning Center, untuk anak-anak retardasi mental atau slow learner saya lebih suka mengajari hal-hal praktis yang berguna bagi kehidupan sehari-hari seperti memakai sepatu, memakai baju, makan bersama, cebok, membaca jam, menggunakan uang, mengenakan tas punggung, kegiatan-kegiatan okupasi dan menggunakan sisir.

Saya kira hal-hal yang barangkali dianggap sepele ini akan selalu berguna sampai kita tua nanti untuk bertahan hidup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar