Sabtu, 01 September 2012

Hari Pertama Nisa Sekolah


Setelah empat bulan bersama Nisa, kini saya tak lagi jadi ‘morning person‘ yang harus bergegas pagi-pagi layaknya orang kantoran. Kemarin, tanggal 16 Juli 2012 Nisa resmi masuk sekolah. Orang tuanya cemas. Saya pun demikian. Tetapi, saya sudah meyakinkan diri sendiri bahwa usaha saya selama empat bulan untuk memperbaiki perilaku Nisa tidak akan sia-sia.

Lantaran tak ingin melewatkan momentum penting ini, saya melakukan pendampingan di hari pertama Nisa sekolah. Nisa rewel di rumah. Itu wajar. Anak autis dikuasai ritual. “Belajar dengan Bu Prima?” tanya Nisa pada Bunda. “Tidak. Hari ini Nisa masuk sekolah. Ada upacara.”

Setelah melewati rengekan panjang, Nisa sampai di sekolah. Mengikuti upacara beberapa menit, lalu jalan-jalan sesuka hati. Saya takjub. Dalam balutan seragam putih-merah, Nisa tampak lain. Dia tak seperti anak berkebutuhan khusus. Begitu melihat saya, Nisa langsung menghampiri dan bertanya, “Main domino dinosurus? Tangram?”. Saya menggeleng lalu berlutut di depannya. “Hari ini Nisa belajar di sini. Nanti siang Nisa belajar sama Bu Prima di rumah. Oke?”. Gadis kecil berusia enam tahun itu tidak menatap saya, lalu pergi.

Beberapa kali Nisa keluar dari kelas. Gurunya kewalahan. Saya hampiri guru laki-laki itu. Saya minta agar dia menggunakan kalimat perintah yang jelas pada Nisa. Entah belum pernah menangani anak autis atau bagaimana, saya sangat prihatin dengan guru-guru di sana. Mereka memperlakukan Nisa seperti anak-anak keterbelakangan mental kebanyakan. Padahal hal itu malahan tidak membuat Nisa nyaman lantaran gadis penyuka warna merah muda ini tidak paham dengan kalimat yang bertele-tele.

Sebagai penyandang autis, Nisa dianugerahi sebuah kelebihan dalam bidang komputer. Di usia empat tahun, Nisa sudah bisa meng-install program ke dalam komputer. Berlanjut kemudian melenyapkan semua data dan menghadirkannya kembali bila diminta. Sampai pada kegemarannya menggambar dan menciptakan permainan sendiri. Daya ingatnya sangat tinggi dan dia belajar dari kesalahan. Instruksi-instruksi dari komputer mempermudah materi masuk dalam ingatan, namun sayang sekali bukan dalam pemahaman. Misalnya; sebuah pertanyaan disajikan pada komputer, “Siapa yang bertugas mengantar surat?” dengan empat pilihan jawaban, a. Polisi b. Tukang Pos c. Pedagang d. Guru maka Nisa akan trial & error mencoba semua jawaban sampai dia tahu bahwa jawaban yang benar adalah ‘tukang pos’. Namun, ketika pertanyaan tersebut disajikan dalam bentuk soal cerita atau dia bertemu dengan tukang pos betulan, Nisa tidak mampu menjawab dengan benar. Itulah kenapa generalisasi dalam sebuah terapi diperlukan agar anak-anak semacam ini tidak kaku seperti robot.

Interaksi sosial dengan orang lain diharapkan dapat membantu anak mempelajari situasi-situasi baru dan mudah beradaptasi. Hal itu yang sebenarnya mendasari kenapa Nisa dimasukkan ke sekolah. Agar Nisa terbiasa dengan interaksi  karena di rumah proses interaksi sosial tidak berjalan dengan baik. Sehari-hari (setelah sesi terapi dengan saya selesai) Nisa diasuh pembantu yang usianya mendekati 40 tahun. Dari desa. Tidak begitu paham dengan kondisi Nisa. Bertugas melayani tanpa banyak bicara. Bundanya seorang dosen dan sedang menempuh kuliah S3 di Jogja yang memaksanya berangkat pagi pulang larut. Sedang bapaknya berwiraswasta.

Keputusan untuk bersekolah sebetulnya tidak saya sarankan bila itu bertujuan untuk pencapaian prestasi akademik. Nisa tidak butuh itu. Nisa hanya butuh mengembangkan apa yang sudah dia miliki sekarang sebagai bekal bertahan hidup nanti. Namun, orang tua awam mana yang ingin anaknya tidak sekolah?

Hari pertama sekolah kemarin, diakhiri dengan kelelahan. Rencana terapi yang saya jadwalkan siang terpaksa dibatalkan karena saya tidak tega, meski Bundanya memberitahu bahwa Nisa menanyakan saya terus. Sebaiknya memang Nisa istirahat sampai dia bisa menyesuaikan diri dengan rutinitas barunya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar