Rabu, 05 Juni 2013

Sistem Pendidikan yang Tak Ramah

Ada banyak hal yang tidak saya pahami tentang pendidikan di Indonesia, terutama yang berkaitan erat dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal-hal yang tidak saya pahami itu termasuk metode pembelajaran, sumber daya manusia, sistem, dan sarana prasarana. Berbicara soal metode pembelajaran, saya banyak membaca tentang metode-metode yang dikembangkan negara-negara lain untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus namun jarang dipakai di Indonesia. 

Di sini, metode pembelajaran yang diterapkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus kadang tak jauh beda dengan yang diterapkan pada anak-anak normal. Bedanya hanya masalah waktu. Terbukti di beberapa sekolah khusus, saya seringkali mendapati guru-guru atau terapis mengajar dengan metode ceramah atau ceramah plus (mengerjakan soal latihan). Tak jarang, mereka menggunakan cara-cara klasik untuk menyampaikan materi. 

Padahal, sekolah-sekolah khusus didirikan sebagai upaya untuk memahami individu-individu dengan keunikan-keunikan tersendiri. Kita ambil saja contoh anak-anak autis yang tergantung pada materi visual, di mana mereka dipaksa untuk memenuhi standar umum dengan materi umum pula. Harusnya, ketika sebuah sekolah khusus didirikan, maka segala yang berkaitan dengan proses belajar mengajar, juga harus khusus. Kenyataannya tidak. Nisa murid saya yang penyandang autis memang bersekolah di satu sekolah khusus, namun metode belajarnya sama seperti sekolah-sekolah lain, dengan kompensasi waktu yang lebih panjang. Misal satu materi tertentu bisa diberikan selama dua minggu untuk anak normal, untuk anak berkebutuhan khusus materi tersebut diberikan selama satu bulan dengan penyampaian yang sama. 

Berkaitan erat dengan hal itu, sumber daya manusia (dalam hal ini guru maupun terapis) sepertinya semakin malas untuk mencari tahu tentang metode belajar yang tidak monoton. Saya merasa banyak pengajar di sini kehilangan antusiasnya. Jarang saya jumpai guru-guru yang menulis jurnal tentang kegiatannya dengan anak-anak berkebutuhan khusus, menerapkan metode-metode baru, dan berbagi cerita tentang kemajuan-kemajuan yang mereka dapat. Menjadi pengajar anak berkebutuhan khusus harusnya bukan lagi menjadi sebuah pekerjaan, tapi juga sebuah proses penyerahan diri pada cinta. 

Namun, saya kadang tidak bisa memaklumi hal ini. Lebih-lebih bila ini menyangkut sistem. Pemerintah berulang kali gembar-gembor mengenai upaya untuk lebih memperhatikan nasib anak-anak berkebutuhan khusus, toh realisasinya tak berjalan mulus. Memang benar, pemerintah menganggarkan banyak dana untuk sekolah-sekolah khusus dan sekolah inklusi. Pada kenyataannya, praktek tidak berjalan baik. Dana yang keluar lebih banyak dibelanjakan untuk sarana-sarana yang tidak mendukung anak-anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Kita ambil contoh, sebuah sekolah inklusi harusnya dilengkapi dengan sarana prasarana yang memudahkan anak didik mereka untuk belajar. Banyak hal, seperti ruangan kelas yang ramah, materi belajar yang mendukung, dan pengajar yang kompeten. Kenyataan di lapangan berkata lain, dana-dana tersebut lebih banyak dihabiskan untuk hal lain. Pujo, murid saya yang cerebral palsy dan bersekolah di sekolah normal, tidak mendapat kursi khusus untuk duduk di kelas. Dengan dana dari pemerintah yang jumlahnya tak sedikit, harusnya sekolah yang melabeli diri dengan 'inklusi' mampu menyediakan sarana untuk anak didik semacam Pujo. Begitulah. Banyak penyimpangan yang terjadi dan saya kira banyak orang yang tidak peduli dengan betapa tidak ramahnya sistem pendidikan kita bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah anak-anak yang perlu dikasihani. Tugas kita hanyalah menyadari keberadaan mereka tanpa memandang sebelah mata dan menjadikan mereka bagian dari kehidupan kita. Saya selalu berharap, suatu saat individu-individu khusus ini mendapatkan tempat di pemerintahan, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tak mampu dikerjakan orang normal dalam waktu yang singkat seperti mengetik alamat surat, membereskan dokumen sesuai dengan urutannya, atau menjadi ilmuan seperti Temple Grandin yang menciptakan mesin penjepit untuk hewan ternak, atau apalah itu. Saya berharap orang tua tak lagi mengeluh soal bagaimana beratnya membesarkan anak-anak berkebutuhan khusus, tapi menikmati seperti mereka membesarkan anak-anak normal. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar